28 September 2014

Menuju Puncak Ciremai via Palutungan



Sebenarnya cerita lama, tapi lupa diposting. Maklum sibuk. hahahaha
 
Setelah cukup lama tidak melakukan kegiatan di alam bebas, kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya mendaki gunung Ciremai pada 17 – 18 Mei 2012. Kegiatan ini kami lakukan untuk mengisi waktu luang dikarenakan libur panjang dari tanggal 17 hingga 20 Mei. Dalam pendakian kali ini tim kami terdiri dari 3 orang yaitu Ujang, gama, dan saya sendiri. Untuk mempersiapkan perjalanan ini, beberapa hari sebelumnya kami telah membeli bekal makanan serta logistik untuk mendaki.

Gunung Ciremai memiliki ketinggian 3078 MDPL atau merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat. Untuk mendaki gunung Ciremai ada 3 jalur yang umum untuk digunakan yaitu Jalur Apuy, Palutungan, dan Linggarjati. Kami memilih untuk menggunakan jalur Palutungan dengan pertimbangan jalur yang relatif datar meskipun waktu tempuh yang agak jauh.

Palutungan merupakan kampung terakhir yang berada di lereng selatan gunung Ciremei dan berada pada ketinggian 1100 mdpl. Palutungan tepatnya berada di wilayah Desa Cisantana, Kec. Cigugur, Kab. Kuningan. Saya pernah ke daerah ini pada saat kelas 2 SMA dulu. Saat itu, saya bersama beberapa rekan2 melakukan penelitian mengenai susu sapi yang merupakan salah satu komoditi utama di daerah tersebut.

Kami berangkat hari Rabu pukul 22.30 dari rumah saya setelah sebelumnya melakukan packing terakhir. Hal yang menarik dari perjalanan kali ini adalah barang2 yang kami bawa sebagian besar merupakan barang yang baru kami beli. Mulai dari carrier, sepatu lapangan, sleeping bag, dan lain sebagainya. Barang2 yang ketika zaman kuliah dulu hanya bisa kami pinjam ^_^.

Dari Utan Kayu (rumah saya) kami langsung menuju Pulo Gadung. Di sini kami melanjutkan perjalanan menuju Kuningan menggunakan bus Luragung Jaya (IDR 45.000 @orang). Di bus kami semua tertidur dikarenakan kondisi fisik yang cukup lelah sebab di siang harinya kami masih bekerja. Ternyata bukan hanya kami saja yang akan ke Ciremai pada saat itu, hampir setengah isi bus diisi oleh orang2 yang juga ingin mendaki ciremai. Paling yang membedakan adalah jalur yang akan kita tempuh karena sebagian besar akan mendaki menggunakan jalur Linggarjati. Kami sampai di kuningan sekitar pukul 06.30 pagi. Di sini kami mencarter angkot menuju pos pendaftaran. Kami akhirnya mulai mendaki sekitar pukul 08.00 pagi setelah sebelumnya sarapan pagi dan mendaftarkan diri.

Basecamp – Cigowong 08.00 – 10.30

Jalur dari basecamp menuju pos cigowong relatif masih mudah. Jalanan cukup landai namun  terlihat jelas. Banyak terdapat persimpangan di sepanjang jalur ini namun terdapat sejumlah penunjuk jalan  yang menempel di pohon. Untuk sampai di pos Cigowong membutuhkan waktu sekitar 2.5 jam perjalanan. Jalur dibuka dengan melewati ladang penduduk, serta semak - semak yang cukup rimbun. Kondisi hutan sepanjang jalur didominasi hutan homogen pinus dan pohon - pohon besar, suasana cukup teduh. Jalur relatif bersih kecuali di beberapa shelter sebelum cigowong, sampah sisa pendaki cukup banyak.

Di jalur ini, Gama yang berada di depan sempat mendengar suara seperti babi hingga akhirnya kami sempat bergerak mundur. Saat itu suara si babi sempat terdengar lagi sehingga kami harus mengeluarkan pisau kami sebagai alat untuk membela diri. Kami mengkhawatirkan babi itu adalah babi jantan yang sedang memasuki musim kawin sehingga bisa berbahaya. Untungnya hingga sampai pos Cigowong kami tidak mendengar suara hewan itu lagi.

Cigowong adalah sebuah shelter yang luas, bisa memuat puluhan tenda. Kondisi shelter ini cukup nyaman, banyak pohon besar yang rimbun dan terdapat sumber air berupa sungai kecil. Ketinggian tempat ini 1450 mdpl. Pos Cigowong adalah sumber mata air terakhir, sepanjang jalur menuju puncak tidak akan ada lagi sumber air, mungkin hanya tetesan di Gua Walet. Setiap pos dilengkapi dengan sisa jarak tempuh hingga puncak serta ketinggian pos.

Cigowong – Kuta 10.30 – 11.00

Pendaki membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam untuk melahap jalur ini. Jalur didominasi oleh hutan heterogen yang cukup rimbun, banyak pohon - pohon besar, kondisi jalur cukup jelas dan basah. Tidak banyak persimpangan. Pejalanan cukup melelahkan, disebabkan oleh trek yang mulai menanjak. Kondisi lingkungan cukup bersih. Kuta berada pada ketinggian 1575 mdpl, Shelter ini cukup luas, bisa memuat dua tenda pendaki ukuran 4 - 5 orang. Kami tidak beristirahat terlalu lama di shelter ini karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari sektor sebelumnya. Kami langsung melanjutkan perjalanan untuk menuju pos berikutnya.

Kuta - Pangguyangan Badak 11.00 – 11.45

Memakan waktu sekitar 45 menit. Jalur bervariasi, kadang landai, kadang menanjak habis-habisan. Kanan - kiri jalur berupa jurang yang cukup curam. Kondisi jalur cukup bersih, namun seperti biasa, di shelter - shelter sebelum Pangguyangan Badak sampah lumyan banyak. Jalur lebar, ada persimpangan, namun ada keterangan jelas mengenai jalur yang benar. Biasanya terdapat plang penunjuk arah atau jalur yang salah ditutup kayu. Pangguyangan Badak adalah shelter yang cukup luas, cukup untuk mendirikan 8 hingga 10 tenda. Tempatnya cukup terbuka, perlu waspada terhadap pacet. Ketinggian pada pada plang adalah 1800 mdpl.

Pangguyangan Badak – Arban 11.45 – 13.00

Jarak Pangguyan Badak menuju Arban cukup jauh, memakan waktu 1 jam lebih. Cukup menguras tenaga, jalur mulai menanjak konstan. Pendaki perlu berhati - hati, banyak pohon tumbang dan akar - akar pohon yang muncul liar. Bila diperhatikan secara seksama, akan terdengar suara sungai yang bersal dari lembah di kanan jalur. Jalur cukup jelas namun basah, ciri khas gunung - gunung di Jawa Barat. Arban berada di ketinggian kurang lebih 2000 mdpl. Kami sempat bertemu dengan rombongan pendaki lain di pos ini. Tidak seperti jalur Linggarjati, cukup sedikit pendaki yang memilih jalur Palutungan untuk memulai pendakian.

Arban - Tanjakan Asoy 14.00 – 15.00

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu di pos Arban. Menu kami adalah mie rebus, sardines, dan sosis. Sangat sederhana namun dapat mengembalikan kondisi fisik kami. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya yaitu tanjakan asyo.

Seperti namanya, jalur ini benar - benar assoy, tanjakannya menggila, liar, buas, tak berujung. Kondisi jalur cukup jelas, bervariasi terkadang cukup lebar, kadang menyempit. Dihiasi oleh hutan yang merimbun dan heterogen. Jalur pendakian relatif bersih dari sampah. Tanjakan assoy adalah tempat yang cukup luas, cocok digunakan untuk bemalam. Tempatnya luas, cukup untuk mendirikan 4 - 6 tenda sekaligus. Ketinggian 2108 mdpl.

Tanjakan Asoy – Pasanggrahan 15.00 – 16.00

Perjalanan ini memakan waktu hampir 1 jam. Perjalanan dari tanjakan Asoy ke pos Pasanggrahan sangat menguras tenaga sekali. Jalur terus menanjak tampa ampun, meski cukup jelas dan minim persimpangan. Pasanggrahan bisa memuat sekitar 4 - 5 tanda. Dulu terdapat plang atau papan nama yang menunjukkan tempat tersebut adalah pasanggrahan, tapi sekarang telah tumbang. Tanda medan yang tersisa adalah pohon tumbang di tengah shelter.

Pasanggrahan – Sang Hyang Ropoh 16.00 – 17.00

Jalur dari Pasanggrahhan ke Sang Hyang Ropoh dapat kami tempuh dalam waktu 1 jam. Oksigen semakin menipis di tempat ini. Sehingga kami cepat sekali merasa lelah. Jalurnya tidak terlalu berbeda dengan sebelumnya, masih terus menanjak dan tanpa bonus. Kami harus beberapa kali beristirahat untuk mengatur nafas.

Sang Hyang Ropoh - Goa Walet 17.00 – 19.30

Kami tiba di pos ini sekitar pukul 5 sore. Tinggal 1 pos lagi sebelum kami beristirahat. Di jalur ini kami sudah melewati batas vegetasi. Jalur yang awalnya masih berupa pepohonan berubah menjadi bebatuan dan sedikit bau belerang yang tercium. Dari sini kami dapat melihat ke desa Cigugur di bawah kami. Perjalanan menuju pos Goa Walet ternyata memakan waktu hingga 2.5 jam. Merupakan trek terkejam dibandingkan pos-pos sebelumnya. Selain tenaga, emosi dan mental juga terkuras di jalur ini. Karena selain tipisnya oksigen juga kami telah berjalan hampir sepuluh jam. Pada beberapa kesempatan kami sempat berpikir untuk mendirikan tenda) di tengah jalan (target kami adalah ngecamp di Goa Walet.

Beberapa kali kami mendengar suara dari atas yang mengembalikan semangat kami. Kami berasumsi bahwa pos goa walet sudah dekat. Namun pos yang dituju tidak kunjung kami temukan. Gama yang paling kuat di antara kami bertiga terus menyemangati kami.

Terdapat persimpangan di ujung jalur,bila turun ke kanan menuju gua walet, bila jalan terus ke atas, akan sampai di puncak. Di Goa Walet terdapat mata air yang bersifat angin - anginan, bila musim hujan tiba, air cukup melimpah, namun jadi kering saat kemarau. Merupakan tempat yang ideal untuk ngecamp. Terdapat bentukan gua yang cukup dalam. Di depan gua ada area yang cukup luas, bisa memuat lebih dari 8 tenda. perjalanan memakan waktu kurang dari 1 jam. Bila berjalan sedikit lagi ke atas pendaki akan bertemu satu pertigaan lagi. Merupakan pertemuan antara jalur maja ( majalengka ) dan Palutungan. Bila ingin ke Majalengka, ambil jalan turun di sebelah kiri jalur.

Goa Walet – Puncak

Jalur menuju puncak didominasi oleh batu - batuan terjal dengan tanjakan yang curam. Vegetasi, pepohonan, mulai langka. Batas vegetasi menjadi jelas. Dari Goa Walet menuju puncak Ciremai dapat ditempuh dalam waktu setengah jam. Puncak gunung Ciremai menawarkan pemandangan yang memukau mata. Kaldera yang luas dengan kawah biru di tengahnya. Bentukan kawah terdiri dari batuan vulkanis dan sisa - sisa lava yang membeku hasil letusan masa lalu. Dari puncak Ciremai, bila tidak ada kabut, kita dapat menyaksikan kemegahan gunung Slamet, Sindoro, dan Sumbing di ufuk timur serta garis pantai Cirebon yang melengkung cantik.

Terdapat beberapa ruang yang cukup lapang, bisa digunakan untuk membuka tenda. Namun tidak dianjurkan untuk bermalam di puncak. Angin cukup kencang dan suhu yang teramat dingin dapat mengakibatkan hal - hal yang tidak diinginkan terjadi. Di puncak Ciremai terdapat banyak sekali ”in Memoriam ”, untuk mengenang dan menghormati para pendaki yang meninggal di sana. Ketinggian 3078 mdpl.

Selepas pos VII lintasan masih curam dan licin, dengan tanah berwama kuning mengandung belerang. Selanjutnya kita akan sampai di pertigaan yang menuju ke jalur Apuy dan ke Kawah Gua Walet. Pada sisi kanan lintasan terdapat Kawah Gua Walet (2.925 mdpl) yang sering digunakan untuk bermalam dan berlindung dari cuaca buruk. Di sebelah kiri, lintasan akan menyatu dengan jalur Apuy (Majalengka).
Untuk sampai di puncak Ciremai (Puncak Sunan Cirebon) diperlukan waktu sekitar 1,5 jam. Sesampainya di puncak pendaki dapat menikmati indahnya pemandangan dua kawah kembar yang berdampingan.

Untuk mengitari kawah ini diperlukan waktu kira-kira 3 jam. Selain itu, pendaki juga dapat menyaksikan ke arah barat indahnya kota Majalengka, ke arah utara panorama kota Cirebon dan Laut Jawa, serta dari kejauhan ke arah timur tampak Gunung Slamet yang tertutup awan. Di pagi hari pada bulan-bulan tertentu sunrise akan muncul tepat dari puncak gunung Slamet.

Awalnya kami akan menggunakan jalur linggarjati untuk perjalanan turun. Namun kami akhirnya turun menggunakan jalur yang sama karena sebelumnya kami sudah meninggalkan barang2 kami di pos Goa Walet. Sehingga bila ingin turun menggunakan jalur Linggarjati kami harus naik lagi ke atas. Perjalanan turun memakan waktu hingga 7 jam.

Sampai jumpa lagi Gunung Ciremai!!!

Tidak ada komentar: