21 Desember 2013

Anthony Salim

Anthony Salim alias Liem Hong Sien, CEO Group Salim (generasi kedua) terpilih sebagai salah seorang 10 Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005 versi Warta Ekonomi. Dia dinilai berhasil membangun kembali kerajaan bisnis Salim Group, setelah sempat mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi 1998.

Sebelum krisis moneter dan ekonomi 1998, Group Salim terbilang konglomerasi terbesar di Indonesia dengan aset mencapai US$ 10 milyar (sekitar Rp 100 trilyun). Majalah Forbes bahkan pernah menobatkan Liem Sioe Liong, pendiri Grup Salim, sebagai salah satu orang terkaya di dunia.
Bank Central Asia (BCA), miliknya di-rush pada saat krisis multidimensional 1998 itu. Untuk mengatasinya, terpaksa menggunakan BLBI dan akibatnya berutang Rp 52 trilyun. Anthony yang sudah dipercayakan memegang kendali perusahaan menggantikan ayahandanya Sudono Salim (Liem Sioe Liong) ini pun bertanggung jawab.

Dia melunasi seluruh utangnya, walaupun harus terpaksa melepas beberapa perusahaan. Di antara perusahaan yang dilepas adalah PT Indocement Tunggal Perkasa, PT BCA (kemudian dikuasai Farallon Capital dan Grup Djarum) dan PT Indomobil Sukses Internasional.

Namun, dia tetap mempertahankan beberapa perusahaan, di antaranya PT Indofood Sukses Makmur Tbk, dan PT Bogasari Flour Mills, yang merupakan produsen mi instan dan terigu terbesar di dunia. Selain itu juga berkibar beberapa perusahaan di luar negeri, di antaranya di Hong Kong, Thailand, Filipina, Cina dan India.

Majalah Globe Asia menobatkan Anthony Salim, bos Grup Indofood sebagai taipan terkaya ketiga Indonesia. Dia berada di bawah posisi Budi Hartono (Grup Djarum) dan Eka Tjipta Widjaja (Grup Sinar Mas). Menurut perhitungan majalah itu - yang didasarkan pada nilai kepemilikan saham baik yang listed atau non listed - Anthoni memiliki harta US$ 3 miliar atau sekitar Rp 27 triliun.

Kini Indofood terus tumbuh dan berkembang sebagai raja industri makanan di Indonesia. Bahkan, bisnis Indofood kian terintegrasi dan bergerak dari hulu hingga hilir. Perusahaan ini bergerak di sektor agribisnis, industri tepung terigu, produk makanan hingga menguasai jalur distribusi.
Sejumlah produk konsumen bermerek made in Indofood sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia, seperti mie instan (Indomie, Supermi dan Sarimi), susu Indomilk, tepung terigu Bogasari (Segitiga Biru, Kunci Biru dan Cakra Kembar), minyak goreng (Bimoli) hingga mentega (Simas Palmia).

Di bawah komando Anthony, pada tahun lalu, Indofood membukukan laba bersih Rp 2 triliun. "Kami senang, meskipun harga komoditas terus bergejolak, namun kami berhasil mencapai rekor laba bersih tertinggi," ujar Anthony dalam laporan keuangan Indofood 2009 yang dipublikasikan baru-baru ini.
Menurut dia, Indofood berhasil melewati berbagai tantangan dalam kurun waktu lima tahun yang sulit ini. Bisnis model yang terdiri dari agribinis dan non-agribisnis, telah membuktikan ketangguhannya dalam dua tahun terakhir ini saat harga komoditas bergejolak.

Dia mengakui krisis ekonomi global 2008 memang mengakibatkan penurunan harga berbagai komoditas secara tajam dan menurunkan tingkat inflasi. Pendapatan divisi agribisnis Indofood juga terpengaruh. Nilai penjualan Bogasari juga menurun karena harga tepung turun.

Namun, dia menekankan turunnya harga komoditas justru berdampak positif bagi Produk Konsumen Bermerek. Permintaan atas produk konsumen bermerek meningkat seiring naiknya daya beli konsumen.

Untuk mengambil peluang yang ada dan mempertahankan kepemimpinan pasar, Indofood memilih memperkuat brand equity melalui investasi secara terus menerus di berbagai merek yang kami miliki. "Kami fokuskan program komunikasi menyeluruh untuk meningkatkan awareness konsumen guna menjaga loyalitas."

Di samping itu, dia mengaku meluncurkan berbagai produk baru yang inovatif dan sesuai kebutuhan pasar. Dua varian baru cup noodles yang diluncurkan pada 2009, kata dia, sangat sukses di pasaran. Untuk menembus pasar di daerah pedesaan, Anthony menyebutkan Indofood mengembangkan program “Raja Desa”. Tujuannya, untuk memperdalam penetrasi distribusi dan meningkatkan ketersediaan produk-produk di pedesaan.

Putra Liem Sioe Liong ini tak mau kerajaan bisnisnya, PT Indofood Sukses Makmur Tbk., berhenti berekspansi dan berinovasi. “Setiap perusahaan harus berbenah diri, apalagi dalam iklim kompetisi,” kata Anthony. Untuk mendukung rencananya itu, Anthony pun menggandeng Nestle S.A.
Keduanya sepakat untuk memperlebar pangsa pasar Indofood dan Nestle. Deal bisnis antara dua kerajaan makanan dan minuman ini berujung pada pendirian PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia. Perusahaan berstatus PMA ini menyedot dana Rp50 miliar, dengan masing-masing pihak menyetor 50%.

“Pendirian usaha patungan baru ini akan menciptakan peluang untuk memanfaatkan dan mengembangkan kekuatan yang dimiliki kedua perusahaan,” kata Anthony. Ia percaya reputasi yang dimiliki kedua perusahaan setidaknya bisa mendongkrak nilai tambah bagi masyarakat dan pemegang saham. Perusahaan tersebut akan bergerak di bidang manufaktur, penjualan, pemasaran, dan distribusi produk kuliner. Ke depan, Indofood masih akan memberi lisensi penggunaan merek produk kuliner kepada Nestle-Indofood. Indofood sendiri memiliki kekuatan pada profil produksi rendah biaya, jangkauan distribusi yang luas, dan kecepatan menjangkau konsumen melalui anak perusahaannya, PT Indosentra Pelangi, yang menjadi pemain utama di bidang industri bumbu penyedap makanan.

Sementara itu, Nestle bergerak di bidang produksi dan penjualan berbagai produk makanan dan minuman, termasuk mi instan dan bumbu penyedap makanan di seluruh dunia. Kekuatan perusahaan asal Swiss itu ada pada riset dan pengembangan yang kuat dalam memproduksi makanan dan nutrisi.

Anthony melihat bahwa perusahaan yang dipimpinnya adalah kapal yang besar dengan 50.000 karyawan. Harus ada komunikasi yang baik agar kinerja perusahaan dapat terfokus tajam dalam melihat pasar. Kata Anthony, sebenarnya aktivitas bisnis yang dilakukan selama ini banyak, hanya saja tidak terlihat. “Indonesia masih menjanjikan imbal hasil yang tinggi dalam bisnis,” ungkapnya.

Ciliandra Fangiono

Di antara daftar orang terkaya itu terdapat tujuh pendatang baru dengan total kekayaan lebih dari US$8 miliar atau sekitar Rp72 triliun. Namun, di antara orang terkaya itu, Ciliandra Fangiono, adalah triliunan termuda. Usianya baru 34 tahun.

Mantan kepala bankir investasi First Resources Ltd, yang mengelola lebih dari 247.000 hektare perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan itu memiliki kekayaan US$1,1 miliar atau sekitar Rp9,9 triliun.

Dia dan kerabatnya, termasuk saudara laki-lakinya Cik Sigih, yang menjabat wakil kepala eksekutif, memiliki 85 persen perusahaan pengelola kebun kelapa sawit itu. First Resources juga tercatat di Bursa Efek Singapura.

Tahun lalu, melalui polesannya, saham perusahaan naik di atas 30 persen seiring kenaikan harga kelapa sawit. Ayahnya, Martias, adalah pendiri perusahaan itu, tetapi belum terlibat sejak 2003.

First Resources juga memiliki anak usaha PT Ciliandra Perkasa. Kegiatan utama Ciliandra Perkasa di bidang usaha penanaman dan pemanenan kelapa sawit. Perusahaan juga mengolah buah menjadi minyak sawit mentah serta inti sawit untuk penjualan lokal dan ekspor.

Bapak dari dua anak itu dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia berada di peringkat ke-20. Peringkat Ciliandra turun dibanding tahun lalu di posisi ke-18. Namun, dari nilai kekayaan, pundi-pundi harta Ciliandra melesat dibanding 2009 sekitar US$710 juta atau setara Rp6,4 triliun.

Kekayaan Ciliandra mengalahkan sejumlah konglomerat papan atas lainnya yang lebih senior seperti pendiri Grup Lippo, Mochtar Riady (US$730 juta), Ciputra (US$725 juta), dan Prajogo Pangestu (US$455 juta).

© VIVA.co.id   |   Share :  

01 Desember 2013

2013 is not a good year for investation

Menurut saya tahun ini bukan merupakan tahun yang baik untuk investasi. Soalnya dari semua portofolio yang saya miliki tidak ada yang memberikan hasil yang positif hingga saat ini. Jumlahnya pun besar pula lossnya. Padahalkan itu nanti bwat jadi modal nikah awak nantinya. Hehehehe...

Investasi reksadana yang pada awal tahun sempat memberikan return hingga 10 % sekarang sudah berada di zona negatif. Mungkin hal ini masih akan berlanjut hingga Pemilu 2014. Apalagi di Indonesia sendiripun kondisi ekonominya sedang tidak stabil. Mulai dari Rupiah yang menembus hingga 12.000, defisit neraca perdagangan yang negatif, hingga inflasi yang melambung. Semoga ke depannya semuanya bisa membaik. Amiiiin....