07 April 2010

Penarikan Minat Divisi Gunung Hutan

GUNUNG PAPANDAYAN

Setelah selama hampir 1 bulan dihabiskan dengan kesibukan kuliah yang menjengkalkan akhirnya masa-masa berpetualang datang lagi. Rencananya di semester terakhir ini bakal saya gunakan semaksimal mungkin untuk banyak diisi dengan perjalanan-perjalanan. Apalagi mengingat saya adalah senior angkatan terakhir sudah sewajarnya saya memberikan pembekalan2 bwat anggota baru penerus KAPA ke depan. Tujuan kami kali ini adalah gunung Papandayan yang memiliki ketinggian 2622 mDPL.
Anggota perjalanan ini terdiri dari 7 orang dengan ketua rombongannya Ucup (M `09). Peserta yang lain adalah Rully (metal `07), Pandu (elektro `08), Qie Yahya (S `08), Gery (Tekim `08), Daniel (Mtl `09), dan saya sendiri. Ini adalah perjalanan pertama saya sebagai orang paling tua di kelompok. Acara ini merupakan bagian dari Krgiatan penarikan minat divisi gunung hutan (GH).
Pada mulanya direncanakan kami akan berangkat pukul 6 sore hari Jumat namun mengingat saya belum siap karena harus mengajar terlebih dahulu, maka perjalanan ditunda keberangkatannya pada pukul 8. Namun karena di sekret sudah ramai maka diputuskan rekan-rekan yang lain akan berangkat terlebih dahulu, baru kemudian saya akan menyusul mereka dan bertemu di Terminal Guntur, Garut.
Hari Jumat itu terasa begitu berat bagi saya. Pada sore harinya saya masih harus mengajar terlebih dahulu di daerah Senen. Baru tiba kembali di Depok pada pukul 19.30 dan langsung packing. Akhirnya saya siap berangkat menuju Garut pada pukul 20.30. Dari Kober menuju kampung Rambutan memerlukan waktu sekitar 30 menit dengan ongkos Rp. 4.000. Di angkot saya menerima sms dari Rully bahwa mereka telah berangkat dari terminal kampung Rambutan.
Masalah di mulai di sini, di kampung Rambutan saya langsung menemukan bus tujuan cianjur. Tanpa tedeng aling2 lagi saya langsung menaiki bis tersebut. Baru ketika sudah duduk di bangku penumpang saya baru tersadar kenapa tidak menanyakan terlebih dahulu ke kondekturnya tujuan dari bis ini. Tapi karena sudah terlanjur naik ya sudahlah. Bis kemudian berangkat tidak lama kemudian. Baru kemudian saya menanyakan ke kondektur tujuan dari bus ini. Ternyata dia bilang bus ini cuma sampai Cianjur. Waduh panik juga dari Cianjur ke Garut bagaimana caranya. Ya sudah pasrah saja. Badan saya yang sudah sangat lelah membuat saya tertidur dengan cepatnya.
Kepanikan timbul lagi ketika sudah sampai Ciawi, wah bentar lagi cianjur.. naik apa saya dari sana ke Garut?? Sampai di Cianjur sekitar pukul 1 pagi. Setelah nanya sana sini akhirnya dikasi tahu bahwa tidak ada bis langsung ke garut, hanya ada sampai Bandung. Sebenarnya tidak masalah kalau ini adalah perjalanan di siang hari. Namun ini adalah perjalanan malam hari. Confuse juga apakah masih ada bis jam segini??
Dengan bermodalkan kepasrahan dan doa akhirnya saya pun menaiki bus menuju Bandung. Ngeliat ke dompet duit tinggal tersisa 50 rb. Berarti sudah terpakai 50 ribu. Padahal nyampe di kaki gunungnya saja juga belum. Bus pun jalannya terasa lama sekali. Akhirnya saya putuskan apabila sampai jam 5 saya belum bertemu anak2 maka saya akan balik lagi ke Jakarta. Untungnya setelah turun dari bus ternyata bus colt menuju terminal Guntur (Garut) masih ada. Saya pun langsung berangkat menuju Garut. Sekitar jam 4 pagi akhirnya saya tiba di terminal Guntur dan disambut anak2 yang sedang beristirahat. Ternyata saat itu belum dilakukan evaluasi, heran juga saya sama Ruli sebagai anggota inti yang berwenang kenapa sudah beristirahat padahal belum evaluasi. Akhirnya evaluasi dilakukan saat itu juga dan baru berakhir sekitar pukul 5.
Setelah kegiatan evaluasi, perjalanan menuju kaki gunung Papandayan pun dimulai. Dari terminal Guntur, kami menyewa angkot hingga simpang Cisurupan. Dari sana kami harus menyewa angkot lagi hingga base camp Papandayan. Ongkos dari Terminal Guntur hingga simpang Cisurupan adalah Rp. 7.000@orang sedangkan dari simpang ke atas kami menyewa pick up dengan tarif Rp. 40.000. Perjalanan naik ini terasa sangat menegangkan dikarenakan jalan yang kami lalui sudah berlubang. Sehingga mau beristirahat pun rasanya cukup sulit. Kami tiba di basecamp Papandayan dengan punggung dan pantat yang sakit.
Perizinan di gunung Papandayan tidaklah terlalu sulit. Kami hanya harus membayar retribusi sebesar Rp. 3.000@orang. Kami sempat berbicara sebentar dengan jagawana daerah tersebut dan menanyakan info terkini tentang gunung tersebut. Dari lokasi basecamp suudah terlihat puncak Papandayan yang sangat indah. Rencana awalnya kami akan menginap 2 hari 1 malam. Jagawana tersebut juga memberitahukan kami untuk memilih jalur yang bebas longsor karena jalur yang ada sebelumnya telah tertutup longsor.
Setelah berdoa bersama dengan harapan perjalanan ini akan selalu dilindungi oleh-Nya maka perjalanan ini pun dimulai. Sekitar 300 meter setelah kami berjalan kami memutuskan untuk sarapan pagi terlebih dahulu. Sarapan yang lumayan nikmat buatan chief Pandu. Kami pun sempat bertemu turis asing asal Belanda yang sepertinya habis menikmati sunrise di puncak Papandayan. Selesai makan, kami langsung packing kembali dan bersiap melanjutkan perjalanan.
Di awal perjalanan kami harus melewati kawah gunung Papandayan yang masih aktif. Ada beberapa kawah yang harus kami lewati. Diameter kawah-kawah tersebut juga lumayan besar. Baunya sangat menyengat. Bahkan setiap tarikan nafas terasa sangat berat. Gunung Papandayan termasuk gunung berapi yang masih aktif. Terakhir kali gunung ini meletus adalah pada tahun 2002.
Selepas melewati kawah, kami dihadapkan pada persimpangan jalan. Kami memilih untuk belok ke kiri dikarenakan jalurnya lebih jelas. Ternyata kami melewati jalan yang salah. Buktinya tidak berapa lama kami berjalan kami menemukan lokasi terjadinya longsor. Kami pun sempat mencium bau yang menyengat. Pada saat itu kami hanya menyangka itu adalah bau bangkai hewan. Sepertinya sudah cukup lama jalur ini tidak ada yang melewati.
Kami sempat kesulitan ketika jalur yang kami lewati terputus. Gerry berinisiatif untuk mencari jalur menuju puncak. Hingga akhirnya kami harus melewati sebuah sungai untuk dapat meneruskan perjalanan. Selepas melewati sungai, kami kembali dihadapkan pada jalur yang bercabang. Jalur yang ada pun sepertinya berbeda arah. Karena target kami adalah puncak, maka kami memutuskan untuk memilih jalur yang menerobos ke atas.
Lagi-lagi jalur ini sepertinya sudah lama tidak dilewati. Namun karena kami masih melihat bekas-bekas jalur bekas dilewati orang, maka kami terus mendaki ke atas. Sayangnya lagi-lagi setelah hampir setengah jam bersusah payah mendaki ke atas, kami menemukan lagi jalur buntu. Tidak ada lagi jalur ke atas. Kami pun memutuskan untuk turun kembali.
Untungnya tak berapa lama kami berjalan turun, lagi-lagi gerry menemukan jalur yang seharusnya. Sehingga kami tidak harus turun lagi ke jalur awal. Kami pun kembali mendaki ke atas dimana jalurnya semakin terjal saja. Akhirnya tebing terjal ini berhasil kami lewati. Namun perjalanan ke puncak belum selesai. Kami memutuskan untuk ngerest dulu sejenak untuk menyiapkan tenaga lagi asmbil menunggu Daniel, Rulli, dan Qie. Sedangkan Pandu, Ucup, dan Gerri mencoba mencari jalan lain dikarenakan banyaknya jalan bercabang di depan kami.
Begitu yang lain sudah berhasil naik dan tim yang mencari jalur sudah kembali kami pun meneruskan perjalanan. Baru sekitar seperempat jam kami berjalan, kami sampai di sebuah lapangan luas yang ditumbuhi banyak edelweis. Lapangan ini dikelilingi bukit-bukit di sekitarnya. Di tempat ini kami juga menemukan pipa air bersih ke warga yang sedikit bocor sehingga kami dapat merecharge air minum kami.
Sungguh sangat enak beristirahat di tempat ini. Udaranya yang sangat sejuk, ditambah angin sepoi-sepoi membuat kami sedikit terlena. Ucup selaku karomb kembali berinisiatif untuk mencari jalur yang harus kami daki. Satu hal yang keberuntungan yang kami dapatkan di perjalanan ini adalah kami tidak kena hujan sama sekali selama perjalanan. Alhamdulillah... Namun kami tidak boleh terlena, perjalanan masih panjang. Kami belum sampai ke manapun juga. Sehingga kami lekas bergerak kembali mengingat hari yang semakin siang.
Sekembalinya Ucup, dia mengabarkan bahwa dia menemukan jalur ke puncak. Ternyata kami harus mendaki salah satu bukit untuk mencapai puncak. Jalur yang kami lalui adalah mengikuti aliran sungai sehingga agak licin. Perjalanan ini mengingatkan saya akan jalur pendakian dari suryakencana menuju puncak gunung Gede. Tanjakan berbatu ini menghabiskan waktu kami hingga setengah jam.
Selepas tanjakan batu, kami tiba di sebuah tempat yang dinamakan Pondok Selada. Kami baru tahu nama tempat ini ketika tiba di bawah dan menanyakan kepada jagawana setempat. Pondok Selada dikelilingi bukit-bukit hijau. Sehingga membuat kami bingung harus memilih jalur yang mana. Lagi-lagi Gerri dan Ucup berinisiatif untuk mengecek jalur. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan terus berharap jalan yang kami tuju benar. Satu kekurangan dari gunung ini menurut saya adalah tidak adanya penunjuk arah yang jelas sehingga membuat pendaki tidak dapat mengetahui apakah dia sudah sampai puncak atau belum serta memperkirakan berapa lamakah jarak ke puncak.
Tak berapa lama kami berjalan kami tiba di suatu tempat di mana jalur di depan kami sudah menurun. Padahal menurut literatur yang kami baca, puncak dtandai dengan suatu lapangan yang luas yang ditumbuhi edelweiss. Menurut Rulli di puncak seharusnya ada pondok tempat orang berjualan. Jalanan di depan kami sudah menurun lagi. Sambil berembuk kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Makan siang kami ini diiringi hujan rintik-rintik yang turun. Udara di sini juga cukup dingin. Tapi Gerri dan Pandu masih sempat2nya buka baju. Gokil...
Selesai makan dan beristirahat selama kurang lebih 1 jam, kami memutuskan untuk mengecek jalur lagi apakah ada yang terlewati. Sayangnya tidak ada jalan lain yang harus kami lewati sehingga kami asumsikan ini sudah puncak. Sekembalinya kami ke pondok Selada, kami mencoba jalur baru dengan berharap peruntungan bahwa inilah jalur ke puncak. Walaupun ternyata salah, namun kami tiba di suatu tempat yang pemandangannya cukup menakjubkan. Dari tempat kami berdiri kami dapat melihat kawah putih jauh di bawah kami. Pemandangannya bila di lihat dari atas seperti sebuah kota yang ditutupi salju. Amazing...
Karena tidak ada kemungkinan jalur lain, akhirnya kami memutuskan untuk turun kembali. Ya kami akan kembali ke Jakarta pada hari itu juga. Perjalanan turun ini berlangsung cukup cepat, mengingat kami sudah harus melewati kawah sebelum sore hari karena biasanya gas-gas beracun cukup aktif keluar pada saat sore hari. Selepas padang edelweiss, kami akhirnya menemukan jalur pendakian yang asli sehingga kami tidak harus menuruni bukit yang cukup curam ini.
Ternyata jalur aslinya tidak terlalu sulit, bahkan terlalu mudah. Patokan yang diberikan jagawana ternyata kami temukan. Jadi ternyata selama ini kami salah jalur. Nga pa2lah sekalian ngelatih anak baru buka jalur. Jalur yang cukup landai ini membuat pregerakan kami menjadi lebih cepat.
Hingga akhirnya cerita ini pun dimulai...
Sebenarnya kami telah menemukan percabangan jalur asli menuju ke basecamp. Namun entah kenapa tidak ada satupun dari kami yang berminat melewati jalur tersebut. Kami lebih memilih melewati jalur bekas longsor. Lagi-lagi kami menemukan persimpangan di mana kami salah jalan. Kembali kami harus melewati sungai berbatu yang cukup deras. Sampai akhirnya kami tiba di tempat landai tempat longsoran berada.
Beberapa ratus meter sebelum daerah longsor, dimana urutan jalan di depan adalah Geri, Ucup, saya, serta beberapa orang di belakang saya. Tiba-tiba Rulli berteriak “Oh my God!!!” dan Ucup langsung mundur ke belakang dan berkata tanpa ekspresi “Ada mayat”. Samar-samar saya melihat apa yang dimaksud kedua orang tersebut. Ternyata benar ada sesosok mayat yang tinggal tengkoraknya yang mulai menghitam.
Oh my God!!! Hal ini benar-benar merusak perjalanan indah kami. Kami sempat chaos untuk sementara. Qie sebagai mantan ketua Rosil mengusulkan untuk melaporkan hal ini setibanya di bawah. Yang lucu di sini adalah keberanian Daniel untuk memfoto tengkorak ini. Sungguh bertanggung jawab PJ dokumentasi yang satu ini. Akhirnya kami langsung bergerak turun kembali, dipimpin oleh saya yang berjalan cepat bahkan cenderung sangat cepat.
Kami masi sempat untuk berfoto bersama di tempat lokasi longsor, sebelum melanjutkan perjalanan menuruni lembah dan melewati kawah kembali. Rencana untuk ke danau pun kami batalkan karena mood saat itu sudah sangat tidak enak. Kami sempat berpapaan dengan pendaki lain yang akan malam mingguan di gunung ini. Gerri berinisiatif untuk menginformasikan jalur yang asli dengan tujuan agar tengkorak yang kami temukan tidak terusik keberadaannya.
Setengah jam kemudian akhirnya kami tiba di basecamp. Jagawana yang melihat kami kaget karena sebelumnya kami bilang ke mereka bahwa kami akan menginap malam ini. Apalagi kami bilang bahwa kami sudah mencapai puncak sekitar pukul 12 sehingga lebih baik kami langsung turun untuk kembali ke Jakarta. Ternyata menurut jagawana tersebut, kami salah tujuan. Lokasi yang kami tuju itu adalah Pondok Salada bukan puncak Papandayan.
Menurut mereka sangat tidak mungkin mencapai puncak Papandayan dalam sehari. Setelah kami menyampaikan ciri-ciri puncak yang kami maksud ternyata memang benar kami salah puncak. Di puncak seharusnya ada lapangan luas yang hanya berisi tanaman Edelweiss. Sial.. Pantesan awalnya kok gampang sekali siy nyampe atas, ternyata memang tidak segampang itu. Memang tidak banyak orang yang mengetahui jalur ke puncak ini dikarenakan jalur ini sebenarnya ditutup akibat longsor.
Akhirnya tibalah saat dimana kami harus menceritakan mengenai apa yang kami temukan di atas sana tadi. Seharusnya saya yang paling tualah yang menceritakan ini, namun jangankan untuk bercerita, untuk mikir saja saya pun sulit. Akhirnya Gerri yang memulai dengan menunjukkan foto tengkorak yang kami temukan.
Begitu sang jagawana melihat foto tersebut, dia langsung menghubungi jagawana lain dan penduduk setempat. Langsung terjadi kehebohan dimana para penduduk desa ingin melihat foto dan mengetahui cerita bagaimana kondisi mayat wanita tersebut. Tak pelak kami pun menjadi selebritas untuk sesaat. Beberapa penduduk desa langsung bergerak ke atas untuk melihat sendiri tengkoran tersebut. Sang jagawana juga mengucapkan terima kasih kepada kami karena telah melaporkan hal ini. Sang jagawana bilang bahwa hal ini akan menjadi berita yang cukup menggemparkan.
Sambil menunggu mobil colt yang akan menjemput kami tiba, kami bercengkrama dengan penduduk setempat masih mengenai topik yang sama. Beberapa penduduk desa berpendapat bahwa mayat yang kami temukan tersebut adalah seorang wanita gila yang memang sudah hampir sebulanan ini tidak pernah kelihatan lagi. Hingga akhirnya angkot yang berjanji menjemput kami tiba, dan kami dilepas oleh para penduduk desa.
Kembali kami harus menaiki mobil pick-up dengan jalan menurun yang sudah rusak. Perjalanan ini sendiri memakan waktu hingga setengah jam. Sesuai perjanjian, setibanya di bawah supir pick up akan mencarikan angkot untuk kami. Jadi kami hanya harus membayar Rp. 90.000 untuk biaya dari basecamp hingga terminal Guntur. Kami tiba di terminal Guntur pada sore hari.
Setelah kami menghitung-hitung uang kami kembali, ternyata uang kami defisit!! Hal ini dikarenakan oknum bernama Qie Yahya dan Pandu yang hanya membawa ongkos untuk pergi saja. Pandu awalnya mau mengambil uang di ATM terdekat. Namun ternyata di garut agak susah untuk mencari ATM. Untungnya Rulli membawa uang lebih sehingga hal ini tidak terlalu menjadi masalah.
Namun ternyata bus AC yang anak2 kendarai sudah tidak ada lagi karena sudah malam. Terpaksa kami harus menaiki bus ekonomi yang ongkosnya tidak berbeda jauh dengan bus AC. Walaupun rugi mau bagaimana lagi daripada kami harus menginap semalam lagi di Stasiun. Kota Garut telah cukup memberikan kenangan yang buruk bagi kami. Perjalanan ke jakarta ini terasa sangat lama. Sungguh menyebalkan. Sekitar pukul 10 kami tiba di terminal Kampung Rambutan dan langsung melanjutkan perjalanan menuju kampus UI untuk selanjutnya berjalan menuju sekret. Jam 11 kami tiba dengan selamat di sekret. Agenda selanjutnya dilanjutkan dengan evaluasi dan akhirnya saya pulang ke rumah dengan selamat.

1 komentar:

Fathur mengatakan...

Kangen Papandayan!!!
Penasaran ama puncaknya...