20 Juli 2008

Saya ragu ada orang yang menikmati kehidupan di tempat tinggi-menikmati dalam arti yang umum. Memang benar, ada kepuasan besar yang muncul dari perjuangan berat untuk mendaki, betapapun lambatnya. Akan tetapi, sebagian besar waktu seorang pendaki harus dihabiskan di kemah-kemah di tempat tinggi yang sangat kotor, tempat yang tidak memberikan hiburan apapun. Merokok tidak mungkin; makan membuat perut terasa mual; keharusan untuk membawa beban sekecil mungkin tidak memungkinkan kita untuk membawa bacaan, kecuali tulisan yang tercantum pada label makanan kaleng; minyak sardine, susu cair, dan obat anti racun berserakan di seluruh tempat. Kecuali pada saat-saat yang sangat pendek, yaitu ketika seseorang sedang tidak ingin menikmati kegembiraan, tidak ada yang bisa dipandang kecuali kekacauan di dalam tenda dan kulit bersisik serta wajah tak bercukur dari rekan-rekan sependakian-untungnya suara angin menutupi nafasnya yang tersengal-sengal. Dan yang terburuk adalah munculnya perasaan tidak ebrdaya total dan perasaan tidak mampu untuk menghadapi setiap keadaan darurat yang mungkin terjadi. Saya biasa menghibur diri sendiri dengan memikirkan, bahwa setahun yang lalu, gagasan bahwa saya bisa ikut dalam petualangan seperti saat ini sudah mampu membuat saya gembira-sebuah prospek yang tampak seperti mimpi yang tidak mungkin terwujud. Namun, ketinggian berdampak sama terhadap otak dan tubuh, pikiran seseorang menjadi tumpul dan pasif, dan satu-satunya keinginan saya adalah menyelesaikan tugas celaka ini untuk kemudian segera turun ke tempat yang lebih layak.

Eric Shipton
Upon That Mountain

Tidak ada komentar: