27 Februari 2011

Harokatul Islamiyah

Kata Harakah menurut etimologi bahasa arab, diambil dari akar kata at taharruk yang artinya bergerak. Istilah tersebut kemudian saat ini populer dengan arti "Sekelompok orang atau suatu gerakan yang mempunyai suatu target tertentu, dan mereka berusaha bergerak serta berupaya untuk mencapainya. Suatu gerakan ini dapat dilakukan secara individual maupun secara berjama'ah. Suatu gerakan atau harakah dapat bersifat islami maupun tidak.

Harakah Islamiyah merupakan sebuah gerakan yang mempunyai tujuan untuk melayani, mengembangkan dan menegakkan Islam seusai dan terikat dengan ide maupun hukum Islam yang lahir sebagai refleksi pemahaman umat Ilsam terhadap perlu adanya sebuah jama'ah sebagai mana yang telah terjadi pada jaman Rasululah. Harakah Islamiyah berfungsi untuk menghimpun potensi umat Islam untuk digunakan secara optimal dalam rangka menegakkan agama Islam (Iqomatuddin).

Harakah Islamiyah terbentuk dari gerkan jama'ah dan gerakan da'wah yang bersifat wajib bagi seorang muslim sebagimana diungkapkan dalam beberapa surat dalam Al-Qur'an.
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh pada ma'ruf dan mencegah pada kemunkaran dan merekalah orang beruntung." (QS Ali Imron 104)

"Sesunggunya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokok kuat.: (QS Ash-shof 4)

Dalam hadist, Rasulullah SAW mengungkapkan:
"Barang siapa yang tidak mementingkan urusan (kepentingan kaum muslimin) maka ia bukan dari golongan mereka" (HR Tabrani)

"Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jama'ah, jika ia meninggal, maka meninggalnya itu dalam kesesatan jahiliyah" (HR Muslim)

Pelopor pergerakan Islam atau harakah Islamiyah adalah Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (1263 - 1328) dengan sahabat sekaligus muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (1292- 1350), yang kemudian diikuti oleh orang-orang setelah mereka seperti Jamaluddin Al-Afghani (1838 - 1897), Muhammad Abduh (1849 - 1905), Muhammad Rasyid Ridlo (1856 - 1935), dan Asy-Syahid Hasan Al-Banna. Al-Imam Yusuf Al-Qardhawi berpendapat pergerakan Islam berkembang seiring dengan berkembangnya hegemoni barat yang ingin mencengkram dunia.

Sebuah harakah islamiah harus memiliki tiga aspek yang menunjukkan identitas sebuah gerakan, yaitu.
1. Mempunyai target tujuan yang diusahakan dan hendak dicapai oleh sebuah harakah
2. Mempunyai bentuk pemikiran yang telah ditentukan oleh harakah dalam aktivitas perjuangannya.
3. Mempunyai arah dan kecenderungan tertentu pada orang-orang yang tergabung di dalam harakah tersebut.

Selain ketiga persayaratan di atas, agar suatu gerakan da'wah dapat disebut sebagai harakan Islamiyah, maka keanggotaannya harus pula dari kalangan Muslimin saja. Dalam beraktivitas dan berinteraksi dalam sebuah Harakah Islamiyah dan para aktivis-aktivis yang berbeda kelompok terdapat kaidah-kaidah yang harus dipahami sebelumnya.

Kaidah pertama : Kebenaran dikenal melalui hakikatnya, bukan melalui tokoh-tokohnya

Jika kita memperhatikan perselisihan-perselisihan dan pertentangan-pertentangan yang ada, maka kita akan dapati bahwa kebanyakan adalah bersumber dari sikap fanatik buta kepada kelompok tertentu, jama’ah, atau individu. Padahal kewajiban kita adalah mengikuti kebenaran apabila telah jelas dan menjadikannya di atas segalanya. Sesungguhnya kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti. Kebenaran itu dikenal melalui hakikatnya; bukan melalui siap yang menyampaikannya. Para salafush shalih telah memperingatkan atas sikap fanatik sempit dan taklid buta.

Ibnu Mas’ud ra berkata, “Ketahuilah, jangan ada seorang pun di antara kalian yang taklid kepada orang lain dalam urusan agamanya, yaitu jika seseorang beriman ia ikut beriman dan jika orang itu kafir, ia ikut kafir. Hal ini karena sesungguhnya tidak boleh ada panutan dalam melakukan perbuatan buruk.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi karya Ibnu Abdil Barri [2/114])   Imam Malik rahimahullah berkata, “Sesungguhnya aku hanya seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar, maka perhatikanlah pendapatku. Apabila sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ikutilah, namun apabila bertentangan dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi karya Ibnu Abdil Barri [2/32])

Sahabat Ali bin Abi Tahlib ra. pernah berkata, “Janganlah engkau mengenali kebenaran melalui tokoh-tokohnya. Akan tetapi kenalilah kebenaran lebih dahulu, niscaya engkau akan mengenal golongan yang berada pada kebenaran itu.”Ibnul Qayyim rahimahullah seorang ulama pelopop pergerakan berkata. “Pada setiap kelompok tentu terdapat kebenaran dan kebatilan/kesalahan. Kewajiban kita adalah menerima yang benar dan menolak yang batil. Barang siapa yang dibukakan Allah melalui metode ini, berarti ia telah dibukakan untuknya setiap pintu menuju ilmu dan agama, serta dimudahkan untuk memperolehnya.” (Thariqul Hijratain hal. 387)

Kaidah kedua : Tidak ada manusia yang ma’shum selain para Nabi

Kesalahan adalah hal yang lazim terjadi paad setiap manusia. Seluruh manusia, bahkan para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan ulama, tidaklah ma’shum. Orang yang ma’shum (bebas dari kesalahan dalam menyampaikan dan mengamalkan Islam) hanyalah para nabi dan rasul.
Rasulullah saw. bersabda : “Setiap keturunan Adam pernah berbuat kesalahan; dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi.Sanad hadits ini shahih.)

Kaidah ketiga : Melakukan kesalahan tidak mesti berarti berbuat dosa

Sebagian ahli bid’ah berpandangan bahwa kesalahan dan dosa merupakan dua hal yang lazim. Sementara ahlus sunnah berpendapat bahwa apabila seorang mujtahid salah dalam berijtihad, maka ia tetap diganjar dengan pahala dan tidak berdosa. Hal ini berdasarkan hadits Nabi : “Apabila seorang hakim (mujtahid) berijtihad lalu ijtihadnya itu benar maka baginya dua pahala. Akan tetapi  jika ijtihadnya salah maka baginya satu pahala.” (HR Bukhari)

Kaidah keempat : Tidak boleh mengikuti ijtihad yang salah meskipun pemiliknya mendapatkan udzur

Sesungguhnya ijtihad seorang mujtahid apabila telah jelas penyelisihannya terhadap kebenaran maka wajib untuk membuangnya dan harus mengambil kebenaran yang telah ditunjukkan oleh dalil. Hal semacam ini bukanlah berarti menjatuhkan posisi mujtahid tersebut, akan tetapi kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti.

Imam Adz-Dzahabi berkata, “Seorang tokoh dari pemuka-pemuka ilmu apabila benarnya banyak, dikenal sangat memihak kepada kebenaran, luas ilmunya, menonjol kecerdasannya, terkenal keshalihan dan sifat wara’nya, serta mengikuti sunnah, maka kesalahan orang semacam ini dimaafkan. Kita tidak boleh menyatakan ia sebagai orang sesat, membuang pendapatnya, dan melupakan kebaikan-kebaikannya. Memang kita tidak akan mencontoh dia dalam hal bid’ahnya dan kekeliruannya, dan kita mengharapkan dia bertaubat dari kesalahannya.” (Siyaru A’lamin Nubala’ [5/279])

Demikian juga, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata mengenai seorang tokoh muslim yang terkemuka, “Sungguh orang semacam itu salah dan keliru, tapi dalam hal itu ia dimaafkan, bahkan diberi pahala karena ijtihadnya. Sekalipun demikian, pendapat itu tidak boleh diikuti, kehormatannya tidak boleh dijatuhkan, dan kepemimpinannya tidak boleh dibuang dari hati kaum muslimin.” (I’lamul Muwaqqi’in [3/283])

Kaidah kelima :Tidak ada kemestian antara berselisih pendapat dengan berselisih hati

Perbedaan pendapat dan berbilangnya ijtihad adalah suatu hal yang alami karena tingkat pengetahuan, akal, dan karena adanya dalil-dalil yang terlihat kontradiktif serta tidak sampainya sebagian dalil kepada sebagian orang. Namun perbedaan ini tidak boleh menyebabkan hati menjadi saling berjauhan, pecahnya jama’ah, dan menghukumi orang yang menyelisihi dengan tanpa ilmu dan adil; karena para sahabat dulu juga pernah berselisih pendapat dalam banyak permasalahan, akan tetapi hati mereka tetap bersatu.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak sekali dari kalangan salaf yang saling berbeda pendapat dalam banyak masalah. Tetapi tidak diketahui adanya seorang pun di antara mereka yang mengecam yang lain dengan mengatakan kafir atau fasiq atau telah berbuat maksiat.” (Majmu’ul Fatawa [3/230])

Kaidah keenam : Kesalahan dinilai sesuai tingkatannya

Sebagaimana diketahui, kesalahan adalah suatu kemestian yang terjadi pada manusia. Bahkan, orang-orang shaleh dan pembesar kaum muslimin juga tidak lepas darinya.

Sa’id bin Musayyib rahimahullah berkata, “Tidak ada orang yang mulia dan orang yang berilmu kecuali di dalam dirinya pasti ada aib. Akan tetapi, di antara manusia ada orang yang tidak patut untuk disebut-sebut aibnya. Maka barang siapa yang keutamaannya lebih banyak dari pada kekurangannya, maka kekurangannya tersebut tertutupi oleh keutamaan-keutamaannya.” (Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir [9/100])

Apabila setiap orang yang salah kebaikan-kebaikannya disingkirkan maka hal ini akan menimbulkan kerusakan yang besar dan bahaya yang besar pula. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila setiap orang yang salah atau khilaf langsung ditinggalkan dan kebaikan-kebaikannya dihancurkan, maka rusaklah ilmu-ilmu dan hukum, serta hilanglah pengetahuan-pengetahuannya.” (Madarijus Salikin [2/39])

Kaidah ketujuh :  Perkataan orang yang berselisih dan lawannya tidak dianggap

Fenomena saling melempar tuduhan antar-aktivis harakah dalam amal Islami hari ini kebanyakan faktor penyebabnya berasal dari sifat hasad dan semisalnya dari orang-orang yang sedang berselisih kepada lawannya. Hal ini bukan masalah baru dalam sejarah manusia, namun telah lama ada dan tidak ada seorang pun yang selamat darinya kecuali para nabi dan shiddiqin.

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Perkataan orang-orang yang sedang berselisih, sebagian mereka kepada sebagian yang lain adalah tidak dianggap terlebih apabila telah nyata bahwa perkataan tersebut bersumber dari permusuhan dan hasad. Tidaklah selamat darinya kecuali orang-orang yang Allah jaga, dan saya tidak mengetahui satu masa yang pelaku-pelakunya selamat darinya kecuali para nabi dan shiddiqin.” (Mizanul I’tidal karya Adz-Dzahabi [1/111])


Kaidah kedelapan : (Kezhaliman tidak menghapuskan persaudaraan Islam)

Sebagian masalah perselisihan yang ada di antara para aktivis Islam bermula dari tuduhan yang zhalim dari seseorang kepada orang lain karena sebab tertentu, lalu orang yang tertuduh membalas tuduhan tersebut. Tindakan seperti ini justru memperuncing perselisihan dan menjerumuskannya ke jurang perpecahan. Kita tidak boleh lupa bahwa perbuatan zhalim saudara kita kepada kita tidak menjatuhkan hak-haknya atas kita, seperti ukhuwah, perwalian, haram menzhalimi dan memusuhinya.

Dalam masalah ini, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kezhaliman tidak memutuskan tali perwalian iman. Allah Ta’ala berfirman, ‘Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat [49] : 9-10)

Allah menjadikan tetapnya ukhuwah meskipun sudah memerangi dan berbuat aniaya. Ketahuilah bahwasanya seorang mukmin wajib untuk diberi perwakian meskipun dia telah menzhalimi dan menganiayamu. Sedangkan seorang kafir wajib untuk dimusuhi meskipun dia telah memberimu dan berbuat baik kepadamu.” (Majmu’ul Fatawa [28/209])

Kaidah kesembilan : (Pengisoliran harus ada alasan syar’i)

Termasuk penyebab terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin hari ini adalah adanya fenomena saling mengisolir dan saling membelakangi di antara para aktivis Islam. Kebanyakan mereka memoles perilaku itu dengan polesan syar’I, padahal sebenarnya factor pendorongnya adalah karena kepentingan individu dan tidak ada korelasi sama sekali dengan pengisoliran yang syar’i.
Sebab, pengisoliran yang syar’i mempunyai kriteria sebagai berikut :
1. Hendaklah motivasinya adalah ikhlas karena Allah
2. Hendaklah dengan cara yang syar’i
3. Kuatnya prediksi bahwa pengisoliran tersebut akan menyampaikan kepada apa yang dimaksudkan darinya.Sebab, pengisoliran bukan merupakan tujuan. Namun, tujuan yang dimaksud adalah tercegahnya orang yang diisolir dari perbuatannya dan agar dia tidak ditiru oleh yang lain. Maka jika pengisoliran yang dilakukan tidak menghasilkan tujuan ini, pengisoliran tersebut tidaklah diperintahkan, akan tetapi ta’lif (menjinakkan) hati adalah lebih utama untuk dikerjakan.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pengisoliran yang syar’i merupakan salah satu tindakan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, sehingga tindakan yang baik ini benar-benar bersifat ikhlas karena Allah, sejalan dengan perintah-Nya sehinga benar-benar menjadi perbuatan yang ikhlas karena Allah. Barang siapa yang mengisolir karena muslim lainnya karena dorongan hawa nafsu atau dengan pengisoliran yang tidak diperintahkan oleh agama, maka hal itu menyimpang dari syar’i.

Apa pun nama harakah Islamiyah dan di mana pun mereka berada— haruslah bersatu. Afiliasi harakah boleh berbeda, akan tetapi manhaj dan aqidah yang diperjuangkan harus sama. Kita mesti bersatu di atas manhaj dan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Demikian juga, kita mesti menyadari bahwa harakah atau jama’ah hanyalah sarana; bukan tujuan utama. Jangan sampai sarana tersebut malah mengalahkan tujuan utama.

1 komentar:

lazua mengatakan...

Salam,,,ijin copas ya...