Gaji bankir Indonesia di level eksekutif relatif tinggi, baik
dibandingkan dengan gaji eksekutif di industri yang lain maupun gaji
bankir di negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan
Filipina. Untuk level top executive dapat dikatakan tidak kalah jauh dibandingkan dengan gaji bankir di Hong Kong dan Singapura. Data Infobank tahun lalu mensinyalir, gaji salah satu chief executive officer (CEO) bank bahkan di luar imajinasi kita sebagai orang awam.
Rekan saya yang seorang head hunter
sampai geleng-geleng kepala sembari berujar, “It is a crazy market!”
Maksudnya, gaji bankir konsisten naik, kebutuhan akan bankir berkualitas
tak ada henti-hentinya, dan bank-bank yang menjadi kliennya tetap saja
mampu dan bergairah untuk “membeli talenta”, walaupun dengan harga
relatif mahal.
Executive search lain yang baru main di
pasar Indonesia juga ikut terkaget-kaget. Dia punya klien institusi
finansial bukan bank dan berencana “membeli” eksekutif dengan latar
belakang banking. Dia suprised karena “bujet untuk belanja” yang disediakan oleh klien tidak sampai separuh dari harga market untuk mendapatkan eksekutif bank di Indonesia.
Bank
memang berharap, dengan memberikan imbalan yang tinggi dan sangat
kompetitif kepada pegawai (terutama para eksekutifnya), nantinya akan
menciptakan produktivitas, profit, dan bisnis yang terus bertumbuh.
Sejauh ini, berdasarkan angka-angka finansial yang sudah dipublikasikan,
sepertinya harapan itu bukanlah pepesan kosong. Profit bank-bank di
Tanah Air terus membubung (naik 30%-50% setahun) dan pertumbuhan asetnya
konsisten rata-rata di atas 20%.
Namun, apakah gaji bankir yang
tinggi dan pertumbuhan bank yang spektakuler ini merupakan kenyataan
atau hanya ilusi? Kewaspadaan perlu ditingkatkan. Jangan sampai bank
terperangkap dengan pengeluaran yang makin tinggi untuk gaji eksekutif,
tetapi dalam jangka panjang akan membebani industri bank itu sendiri
(karena biayanya tidak terkontrol), bahkan dapat merusak sendi-sendi
perekonomian negara.
Dua indikator yang perlu diwaspadai sejauh
ini adalah, pertama, kenyataan bahwa rasio biaya tenaga kerja di bank
dibandingkan dengan biaya bank secara keseluruhan telah mendekati 70%.
Kedua, tingkat turn over pegawai yang tidak turun-turun, bahkan
cendrung naik (rata-rata 12%-15%). Ini adalah lingkaran perangkap yang
tidak bertepi: pegawai bank berpindah-pindah, bank merasa punya duit
untuk membeli talenta di market, dan “harganya” terus meroket. Terus berputar bagai spiral yang memilin ke atas.
Krisis
ekonomi 2008 yang dipicu oleh jatuhnya Wall Street di Amerika Serikat
telah memberikan pelajaran kepada kita. Gaji dan bonus eksekutif investment banker yang terlalu tinggi dituding menjadi pemicu rusaknya ekonomi negara. Bonus untuk investment banker ditengarai lebih besar daripada revenue yang di-generate oleh produk yang dijual.
Krisis
ekonomi yang terus menghantui Benua Amerika hingga detik ini juga telah
memicu polemik. Salah satunya tentang pendapatan para top executive yang dianggap sudah terlalu tinggi. Gaji dan bonus satu orang eksekutif saja (dalam hal ini CEO)
ditengarai lebih tinggi dibandingkan dengan pajak perusahaan yang
disetor ke negara. Ini menjadi perdebatan dan sebagian kalangan
menganggapnya sebagai salah satu virus yang merusak sendi-sendi
perekonomian negara Obama tersebut.
Jangan sampai industri bank kita terperangkap jerat yang sama. Kenyataannya gaji yang tinggi tak menurunkan tingkat turn over,
yang dari tahun ke tahun malah makin naik. Hal ini setidaknya
mengisyaratkan bahwa gaji yang tinggi belum tentu berkorelasi kuat
dengan komitmen bekerja dan loyalitas kepada perusahaan.
Gaji dan bonus yang tinggi hanya akan menciptakan loyalitas semu (pragmactic engagement) dan bukan loyalitas sejati (attitudinal engagement). Kerja keras dan performance yang
ditunjukkan tidak langgeng. Sebatas selama yang bersangkutan merasa
mendapatkan imbalan “yang memadai” dan akan selalu mengintip dari
jendela perusahaan untuk siap-siap hengkang kalau ada bank lain yang
memberikan penawaran gaji yang lebih menarik.
Loyalitas bankir terhadap perusahaannya bukanlah faktor dari gaji dan bonus yang besar. Seperti yang selalu dikumandangkan mbaurekso bankir
Indonesia, Robby Djohan, loyalitas sejati diukir dari kepercayaan untuk
diberikan tantangan pekerjaan, perlakuan sehari-hari yang saling respect, kesempatan menduduki posisi yang lebih strategis, kesempatan untuk tumbuh, dan memberikan sesuatu yang berarti bagi perusahaan.
Mantra-mantra
usang itu jangan ditinggalkan. Jangan sampai perangkap sederhana
memenjara indutri perbankan kita. Tidak mau capai-capai menumbuhkan
loyalitas sejati, tetapi mencari cara gampang dengan membanjiri
eksekutif dengan gaji dan bonus. Suatu ilusi berbiaya tinggi yang belum
tentu menghasilkan komitmen dan kerja keras. Bahkan, dalam jangka
panjang mungkin saja bisa merusak sendi-sendi industri perbankan dan
perekonomian negara. (*)
Penulis adalah praktisi SDM bank. Tulisan ini pendapat pribadi. Penulis dapat dihubungi di awaldhi@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar