Sudah sejak dahulu kala dan suatu kenyataan bahwa sebagian orang di muka bumi ini mempunyai jiwa petualang. Dalam sejarah dunia banyak petualang-petualang yang sangat terkenal baik itu seorang petualang sejati atau petualang sambil mencari keuntungan pribadi. Manusia berpetualang dengan motivasi bermacam-macam. Secara psikologis manusia mempunyai kebutuhan seperti halnya kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk kekayaan, dan kebutuhan untuk diakui oleh masyarakat keliling.
Di tahun 1950-an para pemuda di Indonesia banyak mengadakan petualangan, dari petualangan menjelajah rimba belantara dan mendaki puncak gunung dengan pengatahuan yang dibawa dari luar negeri. Dari situlah banyak para pemuda baik dari kalangan mahasiswa, siswa SMA, maupun dari masyarakat umum yang membentuk suatu wadah baik itu perkumpulan atau organisasi.
Perkumpulan atau organisasi Pecinta Alam atau yang biasa dikenal dengan sebutan Pe-A, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang-orang ini. Dengan ransel berat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung yang dekil bercampur lumpur membuat mereka kelihatan tampak gagah. Hanya sebagian saja yang menatap mereka dengan bola mata berbinar mentiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil dalam hatinya berkata “ ngapain cape’-cape’ naik gunung?! Nyampek kepuncak, turun lagi …….
Mana disana dingin lagi, hiiiiii……!!!!!!!!!!!! “
Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri bersatu bersama alam dan didik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri yeng penuh, kuat dan mantap, mengalir dalam jiwa mereka. Adrenalin yang normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas yang tak henti-hentinya mencibir mereka,
Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih deket pada orang-orang yang terjun di alam bebas ini. “ mati muda yang sia-sia “, begitu komentar mereka saat mendengar atau membawa anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, digunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak digunung pun, kalau mau mati ya matilah ……!!!
Di gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Saat kaki menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Disanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja menjadi seorang yang mendiri danpercaya pada kemampuan diri sendiri,
Gunung itu memang curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak-injak.
Ada banyak luka di tangan, ada kelelahan dikaki, ada rasa haus yang mengayut di kerongkong, ada tanjakan yang seperti tidak ada habis-habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tidak ada artinya sama sekali saat kita mengijak ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segalanya. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan …….
donny kusuma hadinata
Ketua Umum GRANICA SITUBONDO
periode 2009/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar