Sebenarnya cerita lama, tapi lupa diposting. Maklum sibuk. hahahaha
Setelah cukup lama tidak melakukan
kegiatan di alam bebas, kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya mendaki
gunung Ciremai pada 17 – 18 Mei 2012. Kegiatan ini kami lakukan untuk mengisi
waktu luang dikarenakan libur panjang dari tanggal 17 hingga 20 Mei. Dalam
pendakian kali ini tim kami terdiri dari 3 orang yaitu Ujang, gama, dan saya
sendiri. Untuk mempersiapkan perjalanan ini, beberapa hari sebelumnya kami
telah membeli bekal makanan serta logistik untuk mendaki.
Gunung Ciremai memiliki ketinggian
3078 MDPL atau merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat. Untuk mendaki gunung
Ciremai ada 3 jalur yang umum untuk digunakan yaitu Jalur Apuy, Palutungan, dan
Linggarjati. Kami memilih untuk menggunakan jalur Palutungan dengan
pertimbangan jalur yang relatif datar meskipun waktu tempuh yang agak jauh.
Palutungan merupakan kampung
terakhir yang berada di lereng selatan gunung Ciremei dan berada pada ketinggian
1100 mdpl. Palutungan tepatnya berada di wilayah Desa Cisantana, Kec. Cigugur,
Kab. Kuningan. Saya pernah ke daerah ini pada saat kelas 2 SMA dulu. Saat itu,
saya bersama beberapa rekan2 melakukan penelitian mengenai susu sapi yang
merupakan salah satu komoditi utama di daerah tersebut.
Kami berangkat hari Rabu pukul 22.30
dari rumah saya setelah sebelumnya melakukan packing terakhir. Hal yang menarik
dari perjalanan kali ini adalah barang2 yang kami bawa sebagian besar merupakan
barang yang baru kami beli. Mulai dari carrier, sepatu lapangan, sleeping bag,
dan lain sebagainya. Barang2 yang ketika zaman kuliah dulu hanya bisa kami
pinjam ^_^.
Dari Utan Kayu (rumah saya) kami
langsung menuju Pulo Gadung. Di sini kami melanjutkan perjalanan menuju
Kuningan menggunakan bus Luragung Jaya (IDR 45.000 @orang). Di bus kami semua
tertidur dikarenakan kondisi fisik yang cukup lelah sebab di siang harinya kami
masih bekerja. Ternyata bukan hanya kami saja yang akan ke Ciremai pada saat
itu, hampir setengah isi bus diisi oleh orang2 yang juga ingin mendaki ciremai.
Paling yang membedakan adalah jalur yang akan kita tempuh karena sebagian besar
akan mendaki menggunakan jalur Linggarjati. Kami sampai di kuningan sekitar
pukul 06.30 pagi. Di sini kami mencarter angkot menuju pos pendaftaran. Kami
akhirnya mulai mendaki sekitar pukul 08.00 pagi setelah sebelumnya sarapan pagi
dan mendaftarkan diri.
Basecamp
– Cigowong 08.00 – 10.30
Jalur dari basecamp menuju pos cigowong
relatif masih mudah. Jalanan cukup landai namun terlihat jelas. Banyak terdapat persimpangan di
sepanjang jalur ini namun terdapat sejumlah penunjuk jalan yang menempel di pohon. Untuk sampai di pos
Cigowong membutuhkan waktu sekitar 2.5 jam perjalanan. Jalur dibuka dengan
melewati ladang penduduk, serta semak - semak yang cukup rimbun. Kondisi hutan
sepanjang jalur didominasi hutan homogen pinus dan pohon - pohon besar, suasana
cukup teduh. Jalur relatif bersih kecuali di beberapa shelter sebelum cigowong,
sampah sisa pendaki cukup banyak.
Di jalur ini, Gama yang berada di
depan sempat mendengar suara seperti babi hingga akhirnya kami sempat bergerak
mundur. Saat itu suara si babi sempat terdengar lagi sehingga kami harus
mengeluarkan pisau kami sebagai alat untuk membela diri. Kami mengkhawatirkan
babi itu adalah babi jantan yang sedang memasuki musim kawin sehingga bisa
berbahaya. Untungnya hingga sampai pos Cigowong kami tidak mendengar suara
hewan itu lagi.
Cigowong adalah sebuah shelter yang
luas, bisa memuat puluhan tenda. Kondisi shelter ini cukup nyaman, banyak pohon
besar yang rimbun dan terdapat sumber air berupa sungai kecil. Ketinggian
tempat ini 1450 mdpl. Pos Cigowong adalah sumber mata air terakhir, sepanjang
jalur menuju puncak tidak akan ada lagi sumber air, mungkin hanya tetesan di
Gua Walet. Setiap pos dilengkapi dengan sisa jarak tempuh hingga puncak serta
ketinggian pos.
Cigowong
– Kuta 10.30 – 11.00
Pendaki membutuhkan waktu kurang lebih
setengah jam untuk melahap jalur ini. Jalur didominasi oleh hutan heterogen
yang cukup rimbun, banyak pohon - pohon besar, kondisi jalur cukup jelas dan
basah. Tidak banyak persimpangan. Pejalanan cukup melelahkan, disebabkan oleh
trek yang mulai menanjak. Kondisi lingkungan cukup bersih. Kuta berada pada
ketinggian 1575 mdpl, Shelter ini cukup luas, bisa memuat dua tenda pendaki ukuran
4 - 5 orang. Kami tidak beristirahat terlalu lama di shelter ini karena
letaknya yang tidak terlalu jauh dari sektor sebelumnya. Kami langsung
melanjutkan perjalanan untuk menuju pos berikutnya.
Kuta
- Pangguyangan Badak 11.00 – 11.45
Memakan waktu sekitar 45 menit.
Jalur bervariasi, kadang landai, kadang menanjak habis-habisan. Kanan - kiri
jalur berupa jurang yang cukup curam. Kondisi jalur cukup bersih, namun seperti
biasa, di shelter - shelter sebelum Pangguyangan Badak sampah lumyan banyak.
Jalur lebar, ada persimpangan, namun ada keterangan jelas mengenai jalur yang
benar. Biasanya terdapat plang penunjuk arah atau jalur yang salah ditutup
kayu. Pangguyangan Badak adalah shelter yang cukup luas, cukup untuk mendirikan
8 hingga 10 tenda. Tempatnya cukup terbuka, perlu waspada terhadap pacet.
Ketinggian pada pada plang adalah 1800 mdpl.
Pangguyangan
Badak – Arban 11.45 – 13.00
Jarak Pangguyan Badak menuju Arban
cukup jauh, memakan waktu 1 jam lebih. Cukup menguras tenaga, jalur mulai
menanjak konstan. Pendaki perlu berhati - hati, banyak pohon tumbang dan akar -
akar pohon yang muncul liar. Bila diperhatikan secara seksama, akan terdengar
suara sungai yang bersal dari lembah di kanan jalur. Jalur cukup jelas namun
basah, ciri khas gunung - gunung di Jawa Barat. Arban berada di ketinggian
kurang lebih 2000 mdpl. Kami sempat bertemu dengan rombongan pendaki lain di
pos ini. Tidak seperti jalur Linggarjati, cukup sedikit pendaki yang memilih
jalur Palutungan untuk memulai pendakian.
Arban
- Tanjakan Asoy 14.00 – 15.00
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami
memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu di pos Arban. Menu kami adalah mie
rebus, sardines, dan sosis. Sangat sederhana namun dapat mengembalikan kondisi
fisik kami. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya yaitu
tanjakan asyo.
Seperti namanya, jalur ini benar -
benar assoy, tanjakannya menggila, liar, buas, tak berujung. Kondisi jalur
cukup jelas, bervariasi terkadang cukup lebar, kadang menyempit. Dihiasi oleh
hutan yang merimbun dan heterogen. Jalur pendakian relatif bersih dari sampah.
Tanjakan assoy adalah tempat yang cukup luas, cocok digunakan untuk bemalam.
Tempatnya luas, cukup untuk mendirikan 4 - 6 tenda sekaligus. Ketinggian 2108
mdpl.
Tanjakan
Asoy – Pasanggrahan 15.00 – 16.00
Perjalanan ini memakan waktu hampir
1 jam. Perjalanan dari tanjakan Asoy ke pos Pasanggrahan sangat menguras tenaga
sekali. Jalur terus menanjak tampa ampun, meski cukup jelas dan minim
persimpangan. Pasanggrahan bisa memuat sekitar 4 - 5 tanda. Dulu terdapat plang
atau papan nama yang menunjukkan tempat tersebut adalah pasanggrahan, tapi
sekarang telah tumbang. Tanda medan yang tersisa adalah pohon tumbang di tengah
shelter.
Pasanggrahan
– Sang Hyang Ropoh 16.00 – 17.00
Jalur dari Pasanggrahhan ke Sang
Hyang Ropoh dapat kami tempuh dalam waktu 1 jam. Oksigen semakin menipis di
tempat ini. Sehingga kami cepat sekali merasa lelah. Jalurnya tidak terlalu
berbeda dengan sebelumnya, masih terus menanjak dan tanpa bonus. Kami harus
beberapa kali beristirahat untuk mengatur nafas.
Sang
Hyang Ropoh - Goa Walet 17.00 – 19.30
Kami tiba di pos ini sekitar pukul 5
sore. Tinggal 1 pos lagi sebelum kami beristirahat. Di jalur ini kami sudah
melewati batas vegetasi. Jalur yang awalnya masih berupa pepohonan berubah
menjadi bebatuan dan sedikit bau belerang yang tercium. Dari sini kami dapat
melihat ke desa Cigugur di bawah kami. Perjalanan menuju pos Goa Walet ternyata
memakan waktu hingga 2.5 jam. Merupakan trek terkejam dibandingkan pos-pos
sebelumnya. Selain tenaga, emosi dan mental juga terkuras di jalur ini. Karena
selain tipisnya oksigen juga kami telah berjalan hampir sepuluh jam. Pada beberapa
kesempatan kami sempat berpikir untuk mendirikan tenda) di tengah jalan (target
kami adalah ngecamp di Goa Walet.
Beberapa kali kami mendengar suara
dari atas yang mengembalikan semangat kami. Kami berasumsi bahwa pos goa walet
sudah dekat. Namun pos yang dituju tidak kunjung kami temukan. Gama yang paling
kuat di antara kami bertiga terus menyemangati kami.
Terdapat persimpangan di ujung
jalur,bila turun ke kanan menuju gua walet, bila jalan terus ke atas, akan
sampai di puncak. Di Goa Walet terdapat mata air yang bersifat angin - anginan,
bila musim hujan tiba, air cukup melimpah, namun jadi kering saat kemarau.
Merupakan tempat yang ideal untuk ngecamp. Terdapat bentukan gua yang cukup
dalam. Di depan gua ada area yang cukup luas, bisa memuat lebih dari 8 tenda.
perjalanan memakan waktu kurang dari 1 jam. Bila berjalan sedikit lagi ke atas
pendaki akan bertemu satu pertigaan lagi. Merupakan pertemuan antara jalur maja
( majalengka ) dan Palutungan. Bila ingin ke Majalengka, ambil jalan turun di
sebelah kiri jalur.
Goa
Walet – Puncak
Jalur menuju puncak didominasi oleh
batu - batuan terjal dengan tanjakan yang curam. Vegetasi, pepohonan, mulai
langka. Batas vegetasi menjadi jelas. Dari Goa Walet menuju puncak Ciremai
dapat ditempuh dalam waktu setengah jam. Puncak gunung Ciremai menawarkan
pemandangan yang memukau mata. Kaldera yang luas dengan kawah biru di
tengahnya. Bentukan kawah terdiri dari batuan vulkanis dan sisa - sisa lava
yang membeku hasil letusan masa lalu. Dari puncak Ciremai, bila tidak ada
kabut, kita dapat menyaksikan kemegahan gunung Slamet, Sindoro, dan Sumbing di
ufuk timur serta garis pantai Cirebon yang melengkung cantik.
Terdapat beberapa ruang yang cukup
lapang, bisa digunakan untuk membuka tenda. Namun tidak dianjurkan untuk
bermalam di puncak. Angin cukup kencang dan suhu yang teramat dingin dapat
mengakibatkan hal - hal yang tidak diinginkan terjadi. Di puncak Ciremai
terdapat banyak sekali ”in Memoriam ”, untuk mengenang dan menghormati para
pendaki yang meninggal di sana. Ketinggian 3078 mdpl.
Selepas pos VII lintasan masih curam
dan licin, dengan tanah berwama kuning mengandung belerang. Selanjutnya kita
akan sampai di pertigaan yang menuju ke jalur Apuy dan ke Kawah Gua Walet. Pada
sisi kanan lintasan terdapat Kawah Gua Walet (2.925 mdpl) yang sering digunakan
untuk bermalam dan berlindung dari cuaca buruk. Di sebelah kiri, lintasan akan
menyatu dengan jalur Apuy (Majalengka).
Untuk sampai di puncak Ciremai
(Puncak Sunan Cirebon) diperlukan waktu sekitar 1,5 jam. Sesampainya di puncak
pendaki dapat menikmati indahnya pemandangan dua kawah kembar yang
berdampingan.
Untuk mengitari kawah ini diperlukan
waktu kira-kira 3 jam. Selain itu, pendaki juga dapat menyaksikan ke arah barat
indahnya kota Majalengka, ke arah utara panorama kota Cirebon dan Laut Jawa,
serta dari kejauhan ke arah timur tampak Gunung Slamet yang tertutup awan. Di
pagi hari pada bulan-bulan tertentu sunrise akan muncul tepat dari puncak
gunung Slamet.
Awalnya kami akan menggunakan jalur
linggarjati untuk perjalanan turun. Namun kami akhirnya turun menggunakan jalur
yang sama karena sebelumnya kami sudah meninggalkan barang2 kami di pos Goa
Walet. Sehingga bila ingin turun menggunakan jalur Linggarjati kami harus naik
lagi ke atas. Perjalanan turun memakan waktu hingga 7 jam.
Sampai jumpa lagi Gunung Ciremai!!!