Anthony Salim alias Liem Hong Sien, CEO Group Salim (generasi kedua)
terpilih sebagai salah seorang 10 Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005
versi Warta Ekonomi. Dia dinilai berhasil membangun kembali kerajaan
bisnis Salim Group, setelah sempat mengalami kemunduran akibat krisis
ekonomi 1998.
Sebelum krisis moneter dan ekonomi 1998, Group Salim terbilang
konglomerasi terbesar di Indonesia dengan aset mencapai US$ 10 milyar
(sekitar Rp 100 trilyun). Majalah Forbes bahkan pernah menobatkan Liem
Sioe Liong, pendiri Grup Salim, sebagai salah satu orang terkaya di
dunia.
Bank Central Asia (BCA), miliknya di-rush pada saat krisis
multidimensional 1998 itu. Untuk mengatasinya, terpaksa menggunakan BLBI
dan akibatnya berutang Rp 52 trilyun. Anthony yang sudah dipercayakan
memegang kendali perusahaan menggantikan ayahandanya Sudono Salim (Liem
Sioe Liong) ini pun bertanggung jawab.
Dia melunasi seluruh utangnya, walaupun harus terpaksa melepas
beberapa perusahaan. Di antara perusahaan yang dilepas adalah PT
Indocement Tunggal Perkasa, PT BCA (kemudian dikuasai Farallon Capital
dan Grup Djarum) dan PT Indomobil Sukses Internasional.
Namun, dia tetap mempertahankan beberapa perusahaan, di antaranya PT
Indofood Sukses Makmur Tbk, dan PT Bogasari Flour Mills, yang merupakan
produsen mi instan dan terigu terbesar di dunia. Selain itu juga
berkibar beberapa perusahaan di luar negeri, di antaranya di Hong Kong,
Thailand, Filipina, Cina dan India.
Majalah Globe Asia menobatkan Anthony Salim, bos Grup Indofood
sebagai taipan terkaya ketiga Indonesia. Dia berada di bawah posisi Budi
Hartono (Grup Djarum) dan Eka Tjipta Widjaja (Grup Sinar Mas). Menurut
perhitungan majalah itu - yang didasarkan pada nilai kepemilikan saham
baik yang listed atau non listed - Anthoni memiliki harta US$ 3 miliar
atau sekitar Rp 27 triliun.
Kini Indofood terus tumbuh dan berkembang sebagai raja industri
makanan di Indonesia. Bahkan, bisnis Indofood kian terintegrasi dan
bergerak dari hulu hingga hilir. Perusahaan ini bergerak di sektor
agribisnis, industri tepung terigu, produk makanan hingga menguasai
jalur distribusi.
Sejumlah produk konsumen bermerek made in Indofood sudah dikenal luas
di kalangan masyarakat Indonesia, seperti mie instan (Indomie, Supermi
dan Sarimi), susu Indomilk, tepung terigu Bogasari (Segitiga Biru, Kunci
Biru dan Cakra Kembar), minyak goreng (Bimoli) hingga mentega (Simas
Palmia).
Di bawah komando Anthony, pada tahun lalu, Indofood membukukan laba
bersih Rp 2 triliun. "Kami senang, meskipun harga komoditas terus
bergejolak, namun kami berhasil mencapai rekor laba bersih tertinggi,"
ujar Anthony dalam laporan keuangan Indofood 2009 yang dipublikasikan
baru-baru ini.
Menurut dia, Indofood berhasil melewati berbagai tantangan dalam
kurun waktu lima tahun yang sulit ini. Bisnis model yang terdiri dari
agribinis dan non-agribisnis, telah membuktikan ketangguhannya dalam dua
tahun terakhir ini saat harga komoditas bergejolak.
Dia mengakui krisis ekonomi global 2008 memang mengakibatkan
penurunan harga berbagai komoditas secara tajam dan menurunkan tingkat
inflasi. Pendapatan divisi agribisnis Indofood juga terpengaruh. Nilai
penjualan Bogasari juga menurun karena harga tepung turun.
Namun, dia menekankan turunnya harga komoditas justru berdampak
positif bagi Produk Konsumen Bermerek. Permintaan atas produk konsumen
bermerek meningkat seiring naiknya daya beli konsumen.
Untuk mengambil peluang yang ada dan mempertahankan kepemimpinan
pasar, Indofood memilih memperkuat brand equity melalui investasi secara
terus menerus di berbagai merek yang kami miliki. "Kami fokuskan
program komunikasi menyeluruh untuk meningkatkan awareness konsumen guna
menjaga loyalitas."
Di samping itu, dia mengaku meluncurkan berbagai produk baru yang
inovatif dan sesuai kebutuhan pasar. Dua varian baru cup noodles yang
diluncurkan pada 2009, kata dia, sangat sukses di pasaran. Untuk
menembus pasar di daerah pedesaan, Anthony menyebutkan Indofood
mengembangkan program “Raja Desa”. Tujuannya, untuk memperdalam
penetrasi distribusi dan meningkatkan ketersediaan produk-produk di
pedesaan.
Putra Liem Sioe Liong ini tak mau kerajaan bisnisnya, PT Indofood
Sukses Makmur Tbk., berhenti berekspansi dan berinovasi. “Setiap
perusahaan harus berbenah diri, apalagi dalam iklim kompetisi,” kata
Anthony. Untuk mendukung rencananya itu, Anthony pun menggandeng Nestle
S.A.
Keduanya sepakat untuk memperlebar pangsa pasar Indofood dan Nestle.
Deal bisnis antara dua kerajaan makanan dan minuman ini berujung pada
pendirian PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia. Perusahaan berstatus
PMA ini menyedot dana Rp50 miliar, dengan masing-masing pihak menyetor
50%.
“Pendirian usaha patungan baru ini akan menciptakan peluang untuk
memanfaatkan dan mengembangkan kekuatan yang dimiliki kedua perusahaan,”
kata Anthony. Ia percaya reputasi yang dimiliki kedua perusahaan
setidaknya bisa mendongkrak nilai tambah bagi masyarakat dan pemegang
saham. Perusahaan tersebut akan bergerak di bidang manufaktur,
penjualan, pemasaran, dan distribusi produk kuliner. Ke depan, Indofood
masih akan memberi lisensi penggunaan merek produk kuliner kepada
Nestle-Indofood. Indofood sendiri memiliki kekuatan pada profil produksi
rendah biaya, jangkauan distribusi yang luas, dan kecepatan menjangkau
konsumen melalui anak perusahaannya, PT Indosentra Pelangi, yang menjadi
pemain utama di bidang industri bumbu penyedap makanan.
Sementara itu, Nestle bergerak di bidang produksi dan penjualan
berbagai produk makanan dan minuman, termasuk mi instan dan bumbu
penyedap makanan di seluruh dunia. Kekuatan perusahaan asal Swiss itu
ada pada riset dan pengembangan yang kuat dalam memproduksi makanan dan
nutrisi.
Anthony melihat bahwa perusahaan yang dipimpinnya adalah kapal yang
besar dengan 50.000 karyawan. Harus ada komunikasi yang baik agar
kinerja perusahaan dapat terfokus tajam dalam melihat pasar. Kata
Anthony, sebenarnya aktivitas bisnis yang dilakukan selama ini banyak,
hanya saja tidak terlihat. “Indonesia masih menjanjikan imbal hasil yang
tinggi dalam bisnis,” ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar