Alkisah, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya.
Melalui perkenalan (ta’aruf) yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk melanjutkannya menuju lamaran (khitbah).
Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain yakni ayah sang perempuan.
Hal ini, merupakan tantangan yang sesungguhnya bagi lelaki tersebut. Memang sebelumnya ia telah melewati deru pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang sekarang amatlah berbeda karena menentukan masa depannya....
Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka tuk menggenapkan agamanya.
Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya (ayah sang perempuan), untuk merebut sang perempuan muda, dari sisinya.
"Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?" tanya sang lelaki setengah baya.
"Iya, Pak," jawab sang muda.
"Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? " tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan.
"Ya Pak, sangat mengenalnya, " jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
"Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya kan? Tidak bisa
Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!" balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, "Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu."
"Lamaranmu kutolak. Itu seperti membeli kucing dalam karung kan? aku takmau kau akan gampang menceraikan anakku karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?" balas sang setengah baya dengan keras.
Ini situasi yang amat sulit bagi sang pemuda. Sang perempuan pun mencoba membantu sang lelaki muda.
Bisiknya, "Ayah, dia dulu aktivis lho."
"Kamu dulu aktivis ya?" tanya sang setengah baya.
"Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi di Kampus,bahkan digedung dewan pak" jawab sang muda dengan percaya diri.
"Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?"
"Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuman kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat, susah sekali lho pak"
"Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur isterimu, keluargamu, piye tho?"
Sang perempuan membisik lagi, membantu, "Ayah, dia pinter lho."
"Kamu lulusan mana?" tanya sang lelaki setengah baya.
"Saya lulusan ITS Pak. ITS itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?"
"Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja hampir tujuh tahun, IP saya juga cuman dua koma kok Pak."
"Nah itu lah lamaranmu ya kutolak! Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anak dan isterimu kelak?!"
Bisikan itu datang lagi, "Ayah dia sudah bekerja lho."
"Jadi kamu sudah bekerja?" tanya sang lelaki setengah baya
"Iya Pak. Saya bekerja sebagai tenaga marketing. Keliling Indonesia, bahkan luar negeri untuk jualan produk saya Pak."
"Lamaranmu kutolak! Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu nanti"
"Mmmmhh....anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku."
"Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?"
Bisikan kembali, "Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya."
"Rencananya maharmu apa?" tanya sang ayah
"Seperangkat alat shalat Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf sekali!"
"Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak." balas sang pemuda
"Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku."
Bisikan, dari sang perempuan, "Dia jago IT lho Pak"
"Kamu bisa apa itu, internet?" tanya sang ayah
"Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net biar gak mati gaya"
"Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok tiap hari didunia maya. Menghabiskan anggaran tuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata."
"Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak." tandas sang pemuda
"Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Friendster, Facebook, Blog, Twitter, Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu ahh"
Bisikan, "Tapi Ayah..."
"Kamu kesini tadi naik apa?" tanya sang ayah
"Mobil Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya’. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik."
"Anu e pak saya cuma mbonceng mobilnya teman kok. Saya belum bisa nyetir soalnya hehe"
"Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin sama istrimu? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?"
Bisikan, "Ayyahh.."
"Kamu merasa ganteng ya?"
"Nggak Pak. Biasa saja kok"
"Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini."
"Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir sy lho Pak."
"Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!"
Sang perempuan kini berkaca-kaca, "Ayahhh, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?"
Sang setengah baya menatap wajah sang anak, lalu menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah.
"Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur’an dan Hadits?"
Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga.
Soal ini pun ia menyerah agak putus asa, jawabnya, "Pak, dari tiga puluh juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba’in yang terpendek pula."
Sang setengah baya tersenyum
"Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih tertatih." komentar sang setengah baya
Maka mata sang lelaki muda pun ikut berkaca-kaca rasa bahagia..... .....
Perjalanan kehidupan pun berlanjut...
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah,niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(An-Nahl QS 16:18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar